Insan Kamil official website | Members area : Register | Sign in

Prinsip Pemberian “Reward” untuk Anak

Kamis, 10 Februari 2011

Share this history on :

Reward menjadi salah satu bagian dalam dunia pendidikan anak. Namun sayang, terkadang orang tua tidak menyadari bahwa reward yang tidak benar dapat menjadi bumerang bagi orang tua dan anak itu sendiri. Apa dan bagaimana reward yang patut diberikan pada anak?

Di bawah ini ada beberapa bahan wacana yang bisa kita cermati. Semoga bermanfaat untuk Anda.

“ADUH, PINTARNYA ANAK MAMA” Memuji anak merupakan reward yang sangat positif. Namun lakukan secara proporsional agar anak tak terbuai.

Life is a bowl of cherry. Hidup itu seperti semangkuk buah ceri, ada yang manis, ada yang asam, ada pula yang busuk. Realitas seperti itulah yang harus diketahui anak. Jangan sampai kita salah mendidik dengan terus-terusan memujinya. Sikap orang tua yang demikian hanya akan membuatnya merasa hidup ini selalu manis, padahal tidak begitu, kan. Jadi bagaimana sebaiknya memberi pujian? “Berikan pujian bila memang dianggap perlu. Namun jangan berlebihan,” demikian menurut Anna Surti Ariani, Psi, dari Jagadnita Consultan, Jakarta.

PUJIAN YANG PAS

“Anak berhak mendapat pujian setelah melakukan suatu perbuatan baik, seperti yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dan bertambah baik, atau perbuatan yang memang diharapkan orang tua agar menjadi baik,” lanjut psikolog yang akrab dipanggil Nina.

Contoh perbuatan yang diharapkan baik, misalnya ketika ia sudah bisa pipis di toilet. Saat itulah ia berhak mendapat pujian. Sedangkan yang diharapkan bertambah baik, misalnya jika seorang anak sudah bersikap manis pada tamu yang datang, tapi kali ini dia mau memberi salam terlebih dahulu.



Oleh karena itu, menurut Nina, perbuatan baik yang sudah menjadi kebiasaan tidak perlu dipuji lagi. Misalnya saat pertama anak bisa menghafalkan satu surat pendek Al Qur`an, dia berhak mendapatkan pujian. Namun setelah beberapa kali membacakan surat yang sama yang sama, sebaiknya pujian itu sudah tidak diberikan lagi.

Pujian terhadap satu hal yang sama secara perlahan harus dikurangi, sambil menambah kompleksitas kegiatan yang telah berhasil dilakukan. “Kalau hal sama tanpa kemajuan masih terus dipuji, anak akan kekurangan motivasi untuk menambah kebiasaannya.”

Misalnya, ketika satu surat pendek Al Quran sudah di hafal dan sudah dikuasainya, doronglah ia menghafalkan surat pendek Al Quran yang lain. Dengan dikondisikan seperti itu, anak akan berusaha untuk selalu menambah “keahliannya”.

BUKAN BASA-BASI

Namun, kurang bermanfaat kalau pujian tidak disampaikan dalam kalimat efektif. Sayangnya, seringkali orang tua asal memuji, sehingga tak bermakna. “Yang benar, kata-katanya sederhana, karena perbendaharaan kata anak usia batita masih terbatas. Kalau kalimatnya terlalu rumit atau tidak jelas, ia tidak akan mengerti,” ungkap Nina.

Oleh karena itu, pilihlah kata-kata yang spesifik, sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Misal, “Mama senang deh, Adek makannya habis. Bagus.”

Anak akan mengerti kalau ia menghabiskan makanannya, maka orang tua senang dan memujinya. Bandingkan dengan kalimat, “Bagus, bagus,” yang tidak spesifik dan mungkin maksudnya tidak dimengerti.

Agar terasa berarti, pujian juga perlu dibarengi bentuk perhatian lain, seperti sentuhan, atau setidaknya kontak mata dengan anak. Alhasil, ia akan merasa pujian itu betul-betul diarahkan kepadanya.

Di saat orang tua sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak bisa ditinggal, jangan hanya mengatakan, “Bagus. Pintar,” secara sambil lalu. Apalagi kalau maksudnya supaya anak tidak mengganggu lagi. Sebaiknya katakan, “Tunggu sebentar, ya, Sayang. Kalau nanti selesai, baru Mama lihat gambar Adek.” Begitu ada kesempatan, alihkan perhatian Anda kepadanya. Kalau memang yang dibuatnya perlu mendapat pujian, lakukan dengan perhatian penuh. Sambil memuji, Anda bisa menyertakan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada anak.

RISIKO KALAU BERLEBIHAN

Anak yang terlalu sering mendapat pujian sama berisikonya dengan anak yang terlalu jarang mendapatkan pujian. Jika terlalu sering, selain akan mengurangi motivasi untuk mencoba melakukan hal lain, dalam jangka panjang, nantinya ia akan tumbuh menjadi pribadi manja, kurang fight, kurang kreatif, kurang memiliki sense of feeling guilty, dan pada akhirnya kurang berprestasi. “Sebab, anak menganggap dengan begini saja ia sudah dipuji, lalu untuk apa berusaha lebih keras lagi?” kata Nina.

Biasanya orang tua kelewat memuji untuk menutupi rasa bersalahnya. Misalnya saat pulang terlambat, kita akan dengan mudah mengatakan, “Anak pinter, anak cantik, tadi tidak nangis ya?” Padahal kita tidak tahu pasti apakah seharian tadi anaknya menangis atau tidak.

Begitupun dengan anak-anak yang jarang menerima pujian, “Anak pada kondisi ini tidak pernah tahu bahwa dirinya telah melakukan hal-hal positif,” ungkap Nina. Dalam jangka panjang, ia akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang sangat kurang, depresif, sering kecewa, sulit berinteraksi, mudah sedih, sensitif, dan beberapa sifat buruk lainnya.

BERI STIMULUS

Pujian pun harus selalu dikaitkan dengan bertambahnya kemampuan anak. Sertakan di situ apa lagi yang kita harapkan darinya, sehingga kemampuan anak akan bertambah terus. Bila sudah terlalu lama tak memujinya, dengan begitu terlihat bahwa belum ada kemajuan lain yang dicapainya. Orang tua tak boleh tinggal diam. Berikan ia stimulus agar terdorong melakukan sesuatu yang baru atau memperbaiki yang sudah berlangsung.

Namun ingat, pujian tidaklah harus terpaku pada pencapaian target. Proses usaha pun berhak mendapatkan pujian. Misalnya anak sudah berusaha makan sendiri. Walaupun masih berantakan, yang penting dia sudah berusaha. Katakan, “Tidak apa-apa kalau kamu hari ini masih berantakan makannya, tapi besok dicoba lagi ya, makan yang lebih bersih.” Dengan begitu anak bisa merasakan bahwa usahanya selama ini dihargai, sekaligus ada pemacu untuk mencobanya lagi.

Pahamilah bahwa kemampuan perkembangan tiap individu sangat berbeda. Ada anak yang mampu berkembang dengan pesat, ada yang berkembang wajar, atau bahkan ada yang berkembang terlambat. Apa pun yang dicapainya dalam perkembangan itu, anak berhak mendapat pujian. Misalnya, “Umi tahu teman-temanmu sudah bisa menghafal surat pendek Al Qur`an yang lain, tapi Umi tetap bangga Adek bisa menghafal ini. Mama senang karena Adek mau berusaha dan belajar. Besok belajarnya ditambah ya, supaya Adek bisa menghafal lebih banyak seperti teman-teman.”

Bila ayah dan ibu berbeda nilai, komunikasikan apa yang harus dilakukan untuk anak. “Yang sering terjadi adalah, karena salah atu pasangan jarang memuji anak, maka pasangan yang lainnya malah memberi pujian yang berlebihan. Maksudnya untuk menyeimbangkan, tapi itu jelas salah,” tandas Nina. “Bagaimanapun, anak harus menerima pujian pada porsi yang tepat dari kedua belah pihak. Bukan karena yang satu kurang maka yang lainnya bisa memberi lebih.”

Contoh Pujian

Bagaimana cara memuji dengan benar? Berikut beberapa contoh kata-kata pujian yang menurut Nina bisa diucapkan kepada anak:

1. Bila anak mau mandi tanpa disuruh
“Wah, pinter anak Mama. Hari ini Mama tidak usah capek ngejar-ngejar, Andi sudah mau mandi. Besok seperti ini lagi, ya?”

2. Makannya habis
“Kalau Adek makannya habis terus begini, Adek bisa cepat gede nih. Mama seneng, deh.”

3. Mau membereskan mainan
“Begini, dong, anak Mama. Kalau tiap selesai main Nino mau membereskan mainannya sendir, Mama merasa dibantu sekali. Terima kasih, ya.”

4. Ada juga beberapa contoh kata-kata pujian yang tidak perlu. Misalnya, orang tua yang selalu mengatakan, “Anakku yang paling cantik/cakep sedunia.” Ini tidak perlu diucapkan, karena faktanya belum tentu anak itu adalah anak yang paling cantik sedunia. Pernyataan itu bisa membuat anak bingung karena tidak semua orang mengatakan hal sama. Jangan sampai timbul pertanyaan, “Kata Mama aku paling cantik sedunia, tapi kata teman-teman, kok, tidak?” Jadi, berikan pujian yang realistis.

Reward and Punishment

Reward and Punishment atau penghargaan dan hukuman harus diberikan secara berimbang. Penghargaan berupa pujian harus diberikan dengan tepat. Namun anak juga harus mengerti konsep: kalau benar dia mendapat penghargaan sedang kalau salah dia harus mendapat teguran.

Saat melakukan kesalahan, anak juga harus mendapat teguran. Misalnya ketika bermain bersama temannya, tiba-tiba dia merebut mainan, segera berikan teguran dengan lembut, “Adek, jangan merebut, bilang dulu kalau mau meminjam. Kemarin Adek bisa main bersama tanpa rebutan mainan.”

Hindari juga kejadian salah paham, misalnya saat anak bermaksud menunjukkan rasa sayang pada sepupunya, tapi karena koordinasi motorik yang belum sempurna pada anak usia 3 tahun, jadinya terlihat seperti “memukul” sepupunya itu. Tanyakan padanya, “Kenapa Adek memukul?” Kalau dia menjawab, “Enggak, Adek sayang sama Rosa.” Maka segera luruskan, “Oh, kalau Adek sayang sama Rosa, harusnya Adek membelai seperti ini, kalau yang tadi Adek lakukan namanya memukul.”

Beri contoh apa yang seharusnya dilakukan anak dan minta untuk mengulanginya. Setelah bisa melakukan dengan benar, beri pujian, “Nah, gitu kalau sayang sama Rosa. Pinter.” Jadi anak tidak hanya merasa disalahkan, tapi juga diberitahu bagaimana seharusnya yang benar.

PRINSIP PEMBERIAN REWARD

Menurut Ike, jenis dan bentuk hadiah bermacam-macam, ada yang bersifat materiil (benda, makanan), sosial (dipuji, dipeluk, dicium), dan kesempatan lebih (nonton teve lebih lama, tidur dengan orang tua, jalan-jalan). Dari semua hadiah itu, yang bersifat sosial adalah jenis yang paling praktis. Pantas diberikan kepada anak-anak yang baru bisa melakukan aktivitas sederhana, seperti menyuap makanan sendiri, minum susu di gelas, dan sebagainya. Inilah antara lain prinsip pemberian reward yang bisa kita terapkan pada anak:

1. Pemberian penghargaan ini harus terkait dengan aktivitas positif. Misal, anak yang mau belajar menggambar, maka dia berhak mendapat pujian, pelukan, atau ciuman.

2. Penghargaan harus segera diberikan setelah anak melakukan hal positif yang baru bisa ia lakukan. Dengan begitu, anak akan paham perbuatan yang mana yang bisa mendatangkan hadiah. Misalnya, setelah membantu membereskan mainannya, dia mendapat biskuit tambahan.

3. Jika akan memberi hadiah, sesuaikan dengan perjuangan yang dilakukan anak. Misalnya, sekotak susu rasa stoberi sebagai hadiah bagi usahanya memakai sepatu sendiri hingga berhasil. Dengan catatan, sebelumnya, ia tidak bisa melakukan itu.

4. Setiap memberi hadiah yang sifatnya materiil atau yang berupa kesempatan lebih, barengi dengan hadiah yang sifatnya sosial. Apalagi untuk anak batita, pemberian hadiah ini bisa dibarengi dengan ciuman. Usahakan nantinya anak hanya menerima pujian dan pelukan saja tanpa hadiah yang lain.

CONTOH JALAN KELUAR YANG MUDAH
Situasi Biasanya Anda Berkata… Cobalah Untuk…
Anak menangis di tengah keramaian “Kalau kamu berhenti menangis, Mama belikan es krim!” Segera menggendongnya dan meninggalkan keramaian. Setelah berada di tempat yang lebih sepi, segera tenangkan dia.
Anak berantem dengan temannya “Kalau kamu baik sama Andi dan tidak berantem lagi, nanti Mama belikan mainan baru.” Katakan pada anak, “Kalau kamu jadi anak baik, nanti temannya banyak. Tapi kalau tidak, kamu tidak akan punya teman lagi. Kamu mau bermain sendirian tiap hari?”
Anak tidak mau mandi “Kalau kamu mau mandi, nanti Mama belikan cokelat.” Ciptakan suasana mandi yang menyenangkan buat anak. Misal dengan memberinya pelampung dan mainan yang bisa mengapung di air.
Mainannya berantakan setelah selesai bermain. “Kalau kamu mau membereskan, nanti boleh nonton teve sampai malam.” Katakan, “Yuk Mama bantu membereskan mainannya. Setelah itu kita makan bersama, ya.”

10 SEBAB-AKIBAT “SOGOKAN” BAGI BATITA Kita sering tak sadar, upaya menyelesaikan permasalahan dengan menyogok anak bisa membawa dampak berkepanjangan.

Setiap kali minta putrinya melakukan sesuatu, Santi selalu mengakhirinya dengan iming-iming. “Ayo mandi! Nanti mama beliin es krim!” Atau, “Kalau kamu tidur siang sekarang, nanti sore kamu boleh makan cokelat.” Alasannya, sih, sederhana, Santi bosan membujuk si kecil dan kesal karena anaknya selalu bersikap ogah-ogahan.

Dengan iming-iming, putrinya memang tampak lebih menurut. Namun belakangan, apa yang ditawarkannya tidak diminati lagi oleh si kecil. Ia jadi harus berpikir dua kali untuk mencari iming-iming yang menarik. Sayangnya, sampai kini ia belum juga sadar, menyogok anak dapat berdampak negatif. Apa sajakah itu? Mari kita telusuri paparan Ike R. Sugianto, Psi, mengenai seluk-beluk iming-iming ataupun sogokan.

1. Apa saja, sih, yang bisa dikategorikan sebagai kegiatan menyogok anak?

Semua hadiah yang dijadikan barter dengan anak adalah sogokan. Dengan mendapat sesuatu ia melakukan sesuatu.

2. Apa yang menjadi latar belakang orang tua sampai menyogok anaknya?

Orang tua ingin segala sesuatunya bisa cepat beres. Misalnya, dengan menjanjikan es krim, Santi berharap anaknya akan segera mau mandi. Mungkin juga si anak bertemperamen sulit, sehingga orang tua harus melakukan segala upaya, termasuk menyogok, agar anaknya menurut.

3. Sehatkah kebiasaan itu?

Tidak! Sebab akan membuat anak terbiasa dengan pamrih, atau mau melakukan sesuatu asalkan ada imbalannya. “Jadi anak hanya mau mandi kalau setelah itu mendapatkan es krim. Kalau tidak, ya tidak mandi. Ini yang sudah tidak sehat.

4. Bukankah iming-iming merupakan reward?

Sebenarnya konsep reward and punishment (penghargaan dan hukuman) pada anak itu wajar. Semua perbuatannya yang baik akan mendapatkan penghargaan dengan harapan semoga perbuatan itu diulangi terus, sedang perbuatannya yang tidak baik akan mendapat hukuman supaya tidak dilakukan lagi. Yang jadi masalah, kalau semua itu baru dilakukan jika ada penghargaan yang akan diterimanya.

Yang lebih parah, kalau penghargaan diberikan di depan, atau si anak hanya mau hadiahnya saja, tanpa melakukan aktivitas yang diminta. Misalnya, si anak mau es krimnya dibelikan dulu, baru kemudian mandi. Namun setelah es krimnya diberikan, anak tetap tidak mau mandi.

Tak jarang, orang tua menjanjikan memberi permen pada anak, asalkan anak itu mau menghentikan tangisnya dan tidak rewel lagi. Ini jelas tidak benar. Menangis bukanlah perbuatan positif yang pantas mendapat hadiah. Itulah bedanya reward dengan sogokan. Selama pemberian hadiah itu memang sesuai dengan porsinya, maka sah-sah saja.

5. Kapan bisa dikatakan reward tidak sesuai porsi?

Jika hadiah atau imbalannya kelewat besar dibanding apa yang dilakukan, itulah yang disebut tidak sesuai porsi. Bisa juga dikategorikan sebagai upaya “menyogok” anak. Misalnya, tidur siang dihadiahi sebuah sepeda. Disamping tidak wajar, juga tidak sehat.

Tidak sesuai porsi juga kerap terjadi jika hadiah itu sudah direncanakan sebelumnya, dengan atau tanpa aktivitas yang bisa dipenuhi anak. Misalnya orang tua minta si kecil menghabiskan makanannya dengan cepat hari ini, dan sebagai hadiahnya besok ia akan diajak ke Puncak. Padahal dipenuhi atau tidak, orang tua tetap akan mengajak anaknya ke Puncak, karena hal ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Ini juga dapat dikategorikan sebagai upaya membarter aktivitas dengan hadiah atau menyogok.

Jika aktivitas kecil saja selalu diberi imbalan hadiah, bisa jadi nantinya anak tidak mau melakukan sesutu tanpa hadiah sama sekali. Kalau pola asuh ini dibiarkan berlanjut, jelas menjadi pola yang tidak sehat buat anak dan orang tua.

6. Apa dampaknya bagi anak dan orang tua?

Dalam jangka pendek, yang jelas orang tua akan kerepotan. Ia harus terus-terusan menyiapkan hadiah, sebab tanpa itu anak tidak mau melakukan sesuatu yang diperintahkan padanya alias pamrih.

Jangka panjangnya, anak jadi kehilangan motivasi, semuanya harus serba instan tanpa memikirkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu, ia harus melalui sebuah proses. Motivasi dari dalam dirinya (intrinsic motivation) tidak akan tumbuh, atau semua tergantung pada motivasi dari luar (extrinsic motivation), yaitu hadiah. Daya juangnya juga menjadi rendah, keinginan untuk maju dan menjadi lebih juga kurang. Bisa juga anak ini kemudian menjadi anak yang “semau gue” atau hanya mau melakukan sesuatu kalau ada yang dia dapat; kalau tidak, ya tidak akan dilakukan. Pendek kata, dia hanya mau melakukan apa yang dia mau, yang tidak ya tidak.

Belum lagi pemberian “sogokan” ini dalam jangka panjang harus bertambah besar nilai bendanya. Anak yang terbiasa mendapat es krim, misalnya, sampai di suatu masa pasti akan merasa bosan dengan hadiah itu. Ia pun lantas minta yang lebih, seperti mainan, dan seterusnya. Dapat dibayangkan bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai dewasa, apa lagi yang akan dimintanya sebagai sogokan?

Anak-anak yang selalu pamrih pada apa yang dilakukannya, setelah memasuki dunia yang lebih luas seperti Playgroup, akan kehilangan rasa percaya dirinya. Dia menemukan kondisi yang diterimanya di rumah berbeda dari kondisi yang didapatinya di “sekolah”. Dia harus melakukan sesuatu yang diminta gurunya, tanpa mendapatkan apa pun. Atau bisa juga ia meniru pola asuh orang tuanya, yaitu memberikan imbalan seperti permen atau cokelat kepada teman yang mau melakukan apa yang dimintanya.

7. Apakah sogokan harus dihentikan sama sekali?

Ya. Caranya dengan memilah aktivitas mana saja yang berhak mendapatkan hadiah dan mana yang memang merupakan kewajiban anak. Misalnya mandi, makan, minum susu, itu semua untuk kebaikan si anak sendiri, tidak perlu diberi imbalan hadiah, sebab kalau sudah sampai pada kategori “nyogok”, maka tidak ada manfaat positifnya sama sekali buat anak.

8. Apa yang bisa dilakukan orang tua agar hadiah tidak menjadi alat barter perilaku pada anak?

Salah satunya, gunakan sistem tabel penghargaan . Bila anak telah melakukan aktivitas yang diminta, dia berhak mendapatkan satu bintang pada tabel tersebut. Setelah terkumpul beberapa bintang, barulah anak boleh mendapat hadiah. Makin lama, bintang yang didapat harus makin banyak untuk mendapatkan hadiah yang sama.

Untuk anak-anak yang mempunyai masalah, seperti berperilaku sulit, sistem ini sangat efektif dan bisa membawa banyak manfaat. Hanya saja, tentu tidak semudah menangani anak normal.

9. Bagaimana bila anak telanjur berpamrih?

Hentikan sogokan dan ubah segera sistem yang telah berjalan. Perbaharui kesepakatan setiap beberapa waktu sekali yang intinya mendorong agar anak berusaha lebih keras sebelum mendapatkan apa yang diinginkan.

Bila dua hal itu tidak bisa mengubah tabiatnya, dan anak malah makin seenaknya, maka orang tua harus menunjukkan ketegasan. Berikan hukuman yang sesuai, bila anak masih tidak mau melakukannya, seperti tidak boleh nonton teve, tidak boleh main di luar rumah, dan kesenangan lainnya.

Disamping itu, orang tua juga harus sabar dan konsisten untuk selalu mengulang hal yang sama. Misalnya anak yang tidak mau mandi, bila perlu segera gendong ke kamar mandi dan mandikan. Bisa jadi pada saat itu anak menangis, tapi orang tua tidak boleh menyerah. Besok lakukan lagi, sampai ada perubahan pada perilakunya. Katakan pula dengan tegas, “Mulai hari ini tidak ada cokelat lagi, tapi kamu tetap harus mandi.”

Bila tingkah lakunya makin menjadi, ada baiknya orang tua menkonsultasikan hal tersebut pada ahli. Bisa jadi anak tengah mengalami kondisi insecure atau tidak aman, seperti apakah benar orang tuanya menyayangi dia, dan sebagainya. Namun, pada dasarnya perilaku anak usia batita, relatif mudah diubah.

10. Bagaimana kalau orang tua tidak menepati janji?

Janji adalah hutang, tapi banyak orang tua justru memberikan “janji palsu” kepada anak-anaknya. “Ayo mandi sana. Nanti setelah mandi, Papa kasih es krim, deh.” Nyatanya, es krim itu tidak pernah ada.

Lama-lama anak akan menyadari kebohongan orang tuanya. Kekecewaan demi kekecewaan pada akhirnya melunturkan rasa percaya anak terhadap orang tua. Kalau anak sudah tidak memiliki itu, maka sulit bagi kita untuk mengajarkan keterampilan dan tanggung jawab. Jelas ini bukan hal positif.

Kalau sampai kepercayaan anak terhadap orang tua hilang, mulailah segala sesuatunya dengan lembaran baru; jangan lagi pernah berbohong pada anak dan janganlah menjanjikan hadiah yang tidak sesuai porsi.

disalin dan sedikit editing oleh rumahkusorgaku.wordpress.com
sumber :Tabloid Nakita
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

*