Pandemi
yang diumumkan WHO sejak awal Maret berdampak pada banyak sektor, termasuk
pendidikan. Sejak pandemi yang melanda, aktivitas
dunia pendidikan berpindah ke rumah. Kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa yang
mulanya bersama para guru menjadi berasama para orang tua. Begitupun dengan
guru, yang mulanya mengajar di sekolah, para guru mengajar dari rumah saja.
Kebijakan Work from Home (WFH)
bagi para guru dilakukan untuk mendukung kebijakan Social Distancing sudah
tepat di tengah situasi pendemi saat ini. Bahkan, beberapa daerah termasuk Jawa
Timur dengan adanya SE Sidiknas sudah memperpanjang WFH sambil melihat
perkembangan yang ada.
Kebijakan pemerintah yang
mendadak namun harus dipatuhi dan dijalani demi keselamatan dan memutus mata
rantai penularan virus Covid-19. Tentu saja setiap sekolah kelabakan dan
mencari cara bagaimana peran guru yang biasanya di sekolah pindah ke rumah.
WFH bagi para guru membutuhkan
perangkat teknologi seperti alat gadget, sama halnya bagi siswa dan orang tua
juga memerlukan gadget untuk mengikuti learning from home (LFH). WFH dalam
menggunakan fungsi gadget masih tergantung dari kapasitas alat setiap guru,
kuota, signal, materi dan rencana pembelajaran.
Di hari pertama, guru masih
bisa menjalani WFH dengan senang. Ternyata masa WFH yang diberlakukan bukan
hitungan 1 sampai 2 hari, namun sudah 3 pekan dan ditambah lagi hingga 21 April
2020 mendatang.
Di sekolah pada umumnya,
setiap guru memegang 20-30 anak, lalu pelaporan dalam bentuk video atau foto
akan memakan kuota, memori, belum lagi kendala sinyal.
Lambat laun WFH ini membuat
guru semakin bingung bagaimana memberikan materi yang harus dijabarkan dan
dipraktekkan langsung pada siswa, hanya bisa lewat tayangan atau video call
saja. Tentu tidak semua guru pandai mengoperasikan berbagai aplikasi gadget,
malah lebih banyak yang gaptek, sehingga mempengaruhi LFH siswa dan orang tua.
Sementara tugas dan materi
dari guru hampir setiap hari agar mata pelajaran tuntas disajikan. Proses
belajar yang sejatinya harus menggembirakan jadi seperti kejar setoran. Suasana
tambah panik saat kuota habis. Atau WFH terkendala saat jaringan tak kunjung
datang. Akhirnya kendala tersebut menjadi beban pikiran dan menimbulkan stres.
Padahal stres bisa menurunkan sistem imun dalam tubuh dan hal ini berbahaya
dalam kondisi pandemi.
Akhirnya, di saat guru stres,
guru yang sudah berusaha menunaikan WFH menjadi tertuduh dari kepanikan orang
tua dan murid karena ikutan stres dengan tugas yang datang setiap hari. Harus
diakui, tidak semua guri bisa kreatif, apalagi tanpa koordinasi dengan sekolah
mengenai langkah apa yang akan ditempuh.
Memang seharusnya para guru
berinisiatif agar LFH siswa dan orang tua tak membosankan. Guru juga dituntut
kreatif dan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Diharapkan guru dan
siswa berinteraksi secara normal seperti pembelajaran hari-hari saat tatap
muka.
CNN Indonesia pertanggal
(17/12’2019) menyebutkan ada sekitar 2.7 juta guru tersebar di seluruh
Indonesia dan belum seluruhnya mendapatkan gaji yang layak, termasuk guru
honorer. Dmana pusat dan daerah masih suka saling lempar tangan siapa yang
membiayai gaji para guru tersebut.
Belum lagi berbicara fasilitas
tempat mengajar. Beberapa guru dengan resiko tinggi harus mengajar di pelosok
bahkan pedalaman dengan akses mobilisasi yang tak mudah dan tak aman. Dan guru
mengajar di sekolah yang sudah tak layak, hampir roboh.
Tentu guru honorer di masa normal
tanpa WFH karena kebijakan social distancing saja sering mengalami gaji telat
cair bertubi-tubi. Terlebih di masa WFH dngan mengajar jarak jauh dengan metode
daring, tentunya terkait kesejahteraan guru saja semakin sulit untuk
terealisasi.
Maka pada posisi ini, guru
tentu tidak bisa disalahkan jika tidak bisa menjalankan perannya secara
optimal. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di masa social distancing saja
sering bingung, apalagi membeli kuota tanpa ada pemasukan yang pasti semakin
membuat guru kalut dan bingung. Dalam proses WFH ini siapa yang seharusnya
menjamin para guru?
Nasib Guru Dalam Sistem
Kapitalisme
Upaya Dinas Pendidikan dalam
memfasilitasi peningkatan kompetensi guru faktanya masih minim dan kurang
tepat, belum menjamah seluruh penjuru negeri. Penilaian terhadap kinerja guru
melalui ujian online dan guru harus membaca modul dengan penjelasan kurang
memadai. Kurikulum sering berubah-ubah mengikuti pergantian menteri. Para guru
sibuk dengan berbagai administrasi. Belum lagi jika pengawas bertandang ke
sekolah, maka pecahlah tugas guru antara mengajar dan menyiapkan presentasi
serta laporan-laporan.
Bagi yang mau dan sudah
disertifikasi, harus memperbanyak jam mengajar. Untuk meningkatkan kompetensi
diri, para guru harus membeli buku dari kantong sendiri. Sementara gaji kurang
memadai untuk menutupi pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Guru dalam sistem kapitalisme
saat ini ditintut memenuhi kewajiban dengan profesional dan senang hati akan
tetapi tidak didukung fasilitas yang memadai. Tuntutan datang bukan hanya dari
dinas saja, namun orang tua tak kalah banyak tuntutannya terhadap guru.
Mirisnya, dalam sistem
kapitalisme sekuler guru dituntut melahirkan generasi beriman dan berakhlak.
Namun pelajaran dan perilaku siswa dijauhkan dari agama. Tayangan-tayangan baik
di televisi maupun internet memberi dampak buruk bagi tumbuh kembang pola pikir
dan pola sikap murid.
Pelaksanaan WFH di masa social
distancing ini menunjukkan bahwa negara belum siap melaksanakan pembelajaran
online. Pembelajaran online ternyata bukan hanya sebatas tersedianya alat
gadget, tapi harus didukung kompetensi para guru yang kreatif dan innovatif,
fasilitas, serta kesejahteraan guru.
Di dalam UUD 1945 dijelakan
bahwa pendidikan dan kesejahteraan menjadi tanggung jawab negara tapi saat ini,
negara mengabaikan amanah tersebut.
Tatkala para guru honorer
berkumpul di istana mengadukan dan menanyakan bagaimana nasib mereka? Para
pemimpin negeri dan pejabat tam ada yang datang menemui. Guru harus kembali
dengan tangan hampa dan mengemban amanah berat, sementara negara abai dan tak
peduli.
Islam Memuliakan Guru
Proses pendidikan dalam sistem
Islam mendapatkan perhatian yang istimewa. Pendidikan dalam pandangan Islam
memegang peranan penting bagi keberlangsungan kehidupan islam.
Dasar pendidikan adalah aqidah
Islam yang bertujuan membentuk syakhsiyah Islam, yakni pola pikir dan pola
sikap yang islami. Sehingga kurikulum dan materi yang diajarkan di sekolah
harus berlandaskan aqidah Islam saja.
Materi yang diajarkan terbagi
atas ilmu terapan dan tsaqofah. Ilmu terapan diberikan sesuai kebutuhan
sedangkan tsaqofah diberikan pada setiap jenjang. Sehingga baik guru maupun
anak tidak terbebani oleh tumpukan muatan pelajaran. Isi dari setiap amteri
tidak boleh menyimpang dari aqidah Islam.
Seorang guru boleh dan bahkan
diapresiasi untuk mengembangkan sarana dan tehnik pembelajaran, dalam rangka
mengoptimalkan proses pembelajaran. Islam mewajibkan negara menyediakan
fasilitas yang menunjang dan meningkatkan kompetensi guru dengan sungguh-sungguh.
Tak boleh ada seorang guru pun yang terdzolimi.
Kesejahteraan guru adalah
kewajiban negara. Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, guru mendapatkan
penghargaan yang sangat tinggi dari negara, termasuk pemberian gaji yang
memenuhi segala kebutuhannya, bahkan hingga berlebih. Jika dikurskan ke dalam
rupiah, bisa mencapai puluhan juta gaji yang diperoleh setiap guru.
Islam juga mewajibkan negara
untuk menyediakan perpustakaan. Sehingga para guru, ulama, pakar bisa menggali
ilmu pengetahuan yang akan diberikan pada anak didiknya, atau bereksperimen dan
melakikan uji coba dengan leluasa tanoa memikirkan kantong yang akan bolong.
Negara juga melindungi
rakyatnya dari informasi yang tiada manfaat dan menyimpang. Adanya media, baik
media cetak maupun media elektronik (TV, gadget) harus bersinergi dengan tujuan
pendidikan. Informasi asing difilter agar tidak ada peluang pemikiran yang bisa
merusak aqidah umat.
Islam akan menciptakan
ketenangan bagi para guru dalam menjalani dan menunaikan perannya secara profesional.
Para guru juga akan merasa tenang saat pembelajaran berpindah ke rumah. Adanya
perangkat teknologi merupakan bagian dari salah satu cara yang bisa menjadi
altenatif teknis pembelajaran. WFH ini, fasilitasnya disediakan oleh negara.
Sehingga guru akan berupaya
semaksimal dan seoptimal mungkin menunaikan WFH. Guru akan bersungguh-sungguh
menjalankan perannya berinteraksi dengan para siswa yang diampunya di rumah
lewat teknologi yang telah dijamin negara.
Islam sangat memperhatikan
kualitas proses pembinaan dan pendidikan. Sehingga penghargaan dan jaminan akan
senantiasa diberikan kepada guru. Baik saat tatap muka secara langsung maupun
WFH. Wallahu A’lam Bish Showab.[]
*Direktur LSM Golden Victory
0 komentar:
*