Insan Kamil official website | Members area : Register | Sign in

Sekali Terjun, Tidak Bisa Mundur

Sabtu, 20 Maret 2010

Share this history on :
Jakarta - Ribut-ribut ujian nasional (UN) semakin membulatkan tekad sejumlah orangtua untuk mengeluarkan anak-anaknya dari sekolah. Anak-anak akan dimasukkan dalam program pendidikan di rumah alias homeschooling yang kini mulai marak diterapkan di Indonesia. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas Ace Suryadi menyatakan, mayoritas orangtua Indonesia memilih home schooling karena tidak puas dengan sistem pendidikan di sekolah. Setelah itu baru mengkhawatirkan pergaulan di sekolah yang bisa memberikan dampak buruk pada anak. Dan kemudian masalah fleksibilitas dalam memberikan pelajaran.

Nah jika kini anda termasuk yang kecewa dengan sistem pendidikan, sah-sah saja anda memilih home schooling. Tapi tunggu dulu, jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Meski lebih fleksibel dan menjanjikan banyak kelebihan, homeschooling tidak bisa dipilih secara gegabah. Sistem ini lebih ribet dan tidak sepraktis jika anak-anak bersekolah formal. Sistem ini memerlukan tanggung jawab dan komitmen tinggi dari orangtua. Jika serius ingin mempraktekkan sistem ini, orangtua harus paham betul jenis sistem yang akan dipraktekkan. Pertama tentu harus lebih dulu mengenali apa dan bagaimana homeschooling itu. Home schooling adalah melakukan pendidikan sendiri secara mandiri di rumah sehingga tidak perlu berangkat atau pergi ke sekolah formal.

Pendidikan ini telah diakui dalam UU No 20/2005 tentang pendidikan. Home schooling masuk dalam jenis kegiatan pendidikan informal yang diatur dalam pasal 27 ayat 1 UU tersebut. "Hasil pendidikan ini juga diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal," kata Ace. Ada tiga jenis homeschooling yang bisa dipilih.

Pertama, home schooling tunggal yaitu sistem yang dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lainnya dengan alasan tertentu seperti soal lokasi yang berjauhan.

Kedua, home schooling majemuk. Sistem ini dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu. Sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing.

Ketiga, home schooling Komunitas. Sistem ini dilakukan oleh gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar kegiatan pokok, sarana dan prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen belajar antara orangtua dengan komunitasnya 50:50.

Setelah tahu jenis home schooling, orangtua juga harus tahu kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan pendidikan ini adalah fleksibilitas dan lebih manusiawi bagi anak. Sementara kelemahannya, karena dilaksanakan di rumah yang pesertanya terbatas, anak-anak kurang berinteraksi. Padahal bila bersekolah formal anak bisa berinteraksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial. Interaksi ini dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Selain itu, anak juga berpeluang terisolasi dari lingkungan sosial. Selanjutnya setelah mempertimbangkan kelemahan dan kelebihan sekolah itu, orang tua perlu menelaah kemampuannya sendiri untuk mempraktekkan home schooling. Kemampuan itu tidak terkait langsung dengan background psikologis ataupun pendidikan orang tua.

Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas Ella Yulaewati, kemampuan yang paling penting diutamakan adalah masalah waktu di rumah. Bisa tidak meluangkan waktu yang teratur untuk anaknya di rumah. "Punya nggak waktu di rumah?" tanya Ella. Selain itu juga apakah orang tua bisa memberikan komitmen untuk memberikan kenyamanandan suasana pendidikan dan apakah bisa menghadirkan tutor-tutor yang berkualitas. Karena tidak semua materi pelajaran dapat di-handel oleh orang tua. "Biasanya guru kelas itu hanya sampai kelas enam SD karena SMP sudah mengarah ke spesialisasi," tandas Ella.

Ketua Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Aternatif (Asahpena) Seto Mulyadi juga mengingatkan pentingnya komitmen orang tua untuk mempraktekkan home schooling. Komitmen pertama, orang tua harus siap mental. Menerapkan sistem ini, orang tua akan sering mendapatkan pertanyaan mengapa anak-anaknya tidak disekolahkan. Selain itu ia juga berpeluang mendapatkan cemoohan. Kedua, orang tua harus memahami panduan kurikulum, seperti standar kompentensinya, isi kurikulumnya, dan kompentensi dasarnya apa. Ketiga, orang tua harus kreatif dan rendah hati. "Orang tua tidak boleh emosi, harus mengerti hak anak, terampil, dan terus belajar," kata Kak Seto. Nah tidak gampang kan? Tapi meski tidak gampang, bukan berarti tidak bisa dilaksanakan. Bagi yang mempraktekkannya justru mendapat kenikmatan luar biasa. Menurut pengamat pendidikan Arief Rahman, mereka yang mempraktekkan sistem ini tidak pernah menyesalinya. "Sekali terjun, mereka tidak bisa mundur karena sudah merasakan enaknya dekat dengan anak-anak," kata Arief. (/) detik.com

Bookmark and Share
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

*